Daarul Qur'an Surakarta

KH. MUSTAIN NASOHA, BEGINI HUKUM JENAZAH RAJA SOLO PB XIII PAKAI BAJU KEBESARAN

Surakarta, 3 November 2025 — Duka menyelimuti Tanah Jawa. Raja Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Pakubuwono XIII, wafat pada 2 November dan dimakamkan secara penuh kehormatan di kompleks Astana Pajimatan Imogiri, Yogyakarta. Sebagai sosok yang selama hidupnya dikenal lembut, teduh, dan menjunjung tinggi harmoni antara adat Jawa dan nilai-nilai Islam, kepergian beliau meninggalkan kesan mendalam bagi rakyat dan para abdi dalem. Ribuan pelayat memadati halaman Keraton Surakarta untuk memberikan penghormatan terakhir.

Namun, di tengah suasana duka yang agung itu, publik dibuat penasaran oleh satu hal yang jarang terlihat: jenazah sang raja dimakamkan dengan mengenakan busana kebesaran keraton atau baju kebesaran raja, bukan hanya kain kafan putih sebagaimana umumnya. Busana lengkap dengan simbol kehormatan dan kebangsawanan itu dianggap sebagai penghormatan terakhir dari rakyat kepada pemimpin yang mereka cintai.

Menjawab polemik itu, KH. Ahmad Muhamad Mustain Nasoha, Pimpinan Pondok Pesantren Darul Qur’an Surakarta, memberikan penjelasan ilmiah yang menenangkan hati. Dalam kajian rutin beliau pada Kitab I‘ānatuth Thālibīn (Hasyiyah Fathul Mu‘īn), di Masjid Raya Sheikh Zayed Surakarta, Ahad malam (31 Oktober), KH. Mustain menegaskan bahwa mengafani jenazah dengan pakaian berjahit termasuk baju kebesaran raja hukumnya boleh menurut mazhab Syafi‘i.

Beliau menjelaskan, dasar pendapat tersebut bersumber dari kitab-kitab fiqih klasik seperti al-Majmu‘ karya Imam an-Nawawi, Fatawa Ibn Shalah, Tuhfatul Mughtaj karya Imam Ibnu Hajar Al Haitami dan Fath al-Mu‘in karya Syekh Zainuddin al-Malibari.

Imam Nawawi di Kitab Majmu’ Syarah Muhadzab juz 5 halaman 154 berkata:

قَالَ أَصْحَابُنَا رَحِمَهُمُ اللهُ: وَيَجُوزُ تَكْفِينُ كُلِّ إِنْسَانٍ فِيمَا يَجُوزُ لَهُ لُبْسُهُ فِي الْحَيَاةِ، فَيَجُوزُ مِنَ الْقُطْنِ وَالصُّوفِ وَالْكِتَّانِ وَالشَّعْرِ وَالْوَبَرِ وَغَيْرِهَا.

Artinya : “Diperbolehkan mengafani setiap orang dengan pakaian dari bahan apa pun yang boleh dan layak dia kenakan semasa hidupnya ( karena kedudukan dan kemuliaannya ). Maka boleh dari kain katun, wol, linen (kittān), rambut binatang (sya‘r), bulu onta (wabar), dan bahan lainnya.”

Mustain Nasoha ini kemudian menukil pendapat Imam Ibn Shalah, seorang ulama besar dari mazhab Syafi’i, yang secara tegas memperbolehkan penggunaan pakaian berjahit dalam pengafanan:

فتاوَى ابنِ الصَّلاح : وَهَلْ يَجُوزُ أَنْ يَصْحَبَهُ فِي الْقَبْرِ شَيْءٌ مِنَ الثِّيَابِ الْمَخِيطَةِ؟ أَجَابَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ :وَأَمَّا الْمَخِيطَةُ فَيَجُوزُ أَنْ يُكَفَّنَ فِي قَمِيصٍ، وَاللهُ أَعْلَمُ

Artinya : Beliau (Imam Ibn Shalah) pernah ditanya: “Apakah boleh seseorang dikubur bersama sesuatu dari pakaian yang berjahit?” Beliau menjawab: “Adapun pakaian yang berjahit, maka boleh mayit dikafani dengan baju gamis (pakaian berjahit). Dan Allah-lah yang Maha Mengetahui.”

Kemudian Direktur Pusat Studi Konstitusi dan Hukum Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta ini menambahkan argumentasi dari Imam Zainudin Al Malibari di Kitab Fath al-Mu‘in halaman 216 yang mengatakan:

وَأَكْمَلُهُ لِلذَّكَرِ ثَلَاثَةٌ يَعُمُّ كُلٌّ مِنْهَا الْبَدَنَ، وَجَازَ أَنْ يُزَادَ تَحْتَهَا قَمِيصٌ وَعِمَامَةٌ، وَلِلْأُنْثَى إِزَارٌ، فَقَمِيصٌ، فَخِمَارٌ، فَلِفَافَتَانِ .وَيُكَفَّنُ الْمَيِّتُ بِمَا لَهُ لُبْسُهُ حَيًّا.

Artinya : “Kafan yang sempurna bagi laki-laki adalah tiga lembar kain yang masing-masing menutupi seluruh tubuh, dan boleh ditambah baju (qamis/gamis) dan surban. Adapun bagi perempuan, yaitu kain sarung, baju, kerudung, dan dua lembar kain pembungkus. Jenazah boleh dikafani dengan apa pun yang boleh ( layak ) dipakainya ketika hidup  ( karena kedudukan atau kemuliaannya ).”

Beliau menegaskan bahwa Islam tidak melarang penghormatan yang layak bagi tokoh bangsa, raja, ulama, atau siapa pun, selama tidak bertentangan dengan prinsip kesederhanaan dan tidak mengandung unsur tasyabbuh (menyerupai tradisi haram) atau israf (berlebihan).

“Selama tujuannya untuk menghormati, bukan untuk membanggakan diri, tidak ada larangan. Syariat itu sangat luas dan memberi ruang bagi adat selama tidak melanggar batas syara’. Bahkan Rasulullah ﷺ pun menghormati jenazah musuh yang gugur di medan perang, apalagi untuk seorang muslim yang wafat dengan kehormatan,” imbuhnya.

Mustain Nasoha mendapatkan informasi dari Penghulu Tafsir Anom Keraton Kasunanan Solo, KRT.KH. Muhtarom, yang mengatakan padanya bahwa setelah dipakaikan baju kebesaran raja, PB XIII tetap dikasih kain kafan dibagian luarnya yang meliputi seluruh tubuhnya.

Menurut KH. Mustain Nasoha hal ini sudah sesuai denga napa yang telah difatwakan oleh Imam Ibnu Hajar Al Haitami didalam Kitab Tuhfatul Mughtaj juz 3 hal 116 yang berbunyi:

يَجِبُ سَتْرُ جَمِيعِ الْبَدَنِ إِلَّا رَأْسَ الْمُحْرِمِ وَوَجْهَ الْمُحْرِمَةِ لِحَقِّ اللهِ تَعَالَى.

“Wajib menutup seluruh tubuh jenazah, kecuali kepala jenazah laki-laki yang sedang berihram dan wajah jenazah perempuan yang sedang berihram, karena hal itu merupakan hak Allah Ta‘ālā.”

Lebih jauh, KH. Mustain mengingatkan agar masyarakat tidak tergesa-gesa menghakimi bentuk penghormatan seperti itu. Dalam konteks raja dan tradisi keraton, mengenakan pakaian kebesaran merupakan simbol kultural yang tidak bertentangan dengan akidah maupun syariah, selama tetap diniatkan sebagai bentuk penghormatan dan bukan sebagai ritual baru.

“Pakaian kebesaran itu adalah simbol jabatan duniawi yang pernah diemban. Ketika dipakaikan di jenazah, niatnya bukan untuk kemewahan, tapi untuk penghormatan terakhir. Itu tidak bertentangan dengan Islam,” ujar Ketua Fatwa MUI Surakarta ini.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *