Surakarta, 1 September 2025 — Menyusul meningkatnya aksi demonstrasi di sejumlah daerah yang berujung ricuh, bahkan memicu penjarahan dan perusakan fasilitas umum, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Surakarta memberikan sikap tegas. Pimpinan Dewan Asatidz Pondok Pesantren Daarul Quran Surakarta, KH. Ahmad Muhamad Mustain Nasoha, menegaskan bahwa segala bentuk tindakan anarkis tersebut tidak dapat dibenarkan secara syariat Islam dan hukumnya jelas haram. Dalam wawancara khusus yang digelar pada Senin (1/9), ulama muda yang juga dikenal sebagai akademisi hukum Islam ini menekankan bahwa Islam hadir untuk menjaga ketertiban, keamanan, serta melindungi harta dan jiwa masyarakat. “Segala bentuk perusakan, baik menyasar harta pribadi, fasilitas umum, maupun penjarahan yang kerap menyertai aksi kericuhan, sama sekali tidak memiliki dasar syar’i. Itu perbuatan yang haram dan bertentangan dengan maqāṣid al-sharī‘ah, khususnya ḥifẓ al-māl (menjaga harta) dan ḥifẓ al-nās (menjaga jiwa manusia),” tegasnya. Larangan Merusak Fasilitas Umum Mustain menuturkan, Al-Qur’an secara konsisten melarang umat manusia melakukan kerusakan di muka bumi. Ia mengutip firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 205 yang menggambarkan orang-orang yang gemar menimbulkan kerusakan dengan merusak tanam-tanaman dan keturunan. Demikian pula QS. Al-A‘raf ayat 56 yang menegaskan larangan membuat kerusakan setelah Allah memperbaiki bumi. “Pesan ini sangat jelas. Rasulullah ﷺ pun bersabda: lā ḍarar wa lā ḍirār – tidak boleh berbuat mudarat dan tidak boleh membalas mudarat dengan mudarat. Dalam kaidah fiqh ditegaskan: al-ḍarar yuzāl – setiap bentuk kerusakan wajib dihilangkan,” jelasnya. Pandangan ini, menurut KH. Mustain, didukung oleh para mufassir klasik. Imam al-Ṭabarī dalam Kitab Jāmi‘ al-Bayān menafsirkan bahwa istilah fasād mencakup segala bentuk perusakan, termasuk merusak harta benda masyarakat. Ibn Kathīr melalui Kitab Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm menegaskan bahwa larangan kerusakan meliputi maksiat, perampokan, dan tindakan merusak fasilitas. Al-Qurṭubī dalam Kitab al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān bahkan menekankan, menyia-nyiakan harta orang lain termasuk perbuatan terlarang. “Ulama besar seperti Imam al-Ghazali dalam Kitab Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, Imam al-Syathibi dalam Kitab al-Muwāfaqāt, serta Ibnu Hajar al-Haitami dalam Kitab al-Zawājir ‘an Iqtirāf al-Kabā’ir sepakat bahwa merusak harta orang lain termasuk dosa besar. Itu bukan hanya pelanggaran sosial, tetapi juga melanggar ḥuqūq al-‘ibād atau hak-hak manusia,” terang KH. Mustain yang juga aktif sebagai dosen Ilmu Hukum di UIN Raden Mas Said Surakarta. Penjarahan Adalah Kezaliman Besar Selain perusakan, fenomena penjarahan yang kerap terjadi saat aksi massa juga mendapat sorotan tajam. KH. Mustain menyebut penjarahan sebagai bentuk kezaliman besar karena mengambil harta orang lain secara paksa. Ia mengutip QS. An-Nisa ayat 29: wa lā ta’kulū amwālakum bainakum bil-bāṭil – janganlah kalian saling memakan harta sesama dengan cara batil. “Hadits Rasulullah ﷺ sangat tegas: lā yaḥillu mālu imri’in muslimin illā biṭībi nafsin minhū – tidak halal harta seorang Muslim kecuali dengan kerelaannya. Jadi, tidak ada alasan apa pun yang bisa membenarkan penjarahan, apalagi dengan dalih aksi sosial atau demonstrasi,” ungkapnya. Dalam perspektif fiqh, menurut KH. Mustain, berlaku kaidah al-akl bil-bāṭil ḥarām – mengambil harta dengan cara batil hukumnya haram. “Bahkan, sesuatu yang haram tidak bisa berubah menjadi halal hanya karena niat atau kondisi tertentu. Kaidah fiqh menyebut: al-ḥarām lā yataḥawwal bil-niyyah,” tambahnya. Ia kemudian merujuk pada tafsir klasik. Imam al-Ṭabarī dalam Kitab Jāmi‘ al-Bayān menyebut bahwa pengambilan harta dengan paksa atau tipu daya termasuk jarīmah (tindak pidana). Ibn Kathīr dalam Kitab Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm menegaskan bahwa merampas hak orang lain merupakan dosa besar. Sementara al-Qurṭubī dalam Kitab al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān menegaskan bahwa pengambilan harta tanpa izin, baik dengan kekerasan maupun tekanan, adalah bentuk kezaliman. “Ulama seperti Imam al-Ghazali, Imam al-Syathibi, dan Ibnu Hajar al-Haitami semuanya menegaskan hal yang sama. Penjarahan jelas dosa besar. Siapa pun yang melakukannya di tengah aksi demo, berarti telah menanggung dosa besar di sisi Allah,” tegas KH. Mustain. Menjaga Harta dan Keamanan adalah Amanah Lebih jauh, KH. Mustain mengingatkan bahwa dalam keadaan genting sekalipun, umat Islam justru memiliki kewajiban untuk menjaga keamanan lingkungan dan melindungi harta bersama. Ia mengutip QS. An-Nisa ayat 58: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menunaikan amanat kepada yang berhak menerimanya…” “Menjaga keamanan dan harta adalah amanah. Jika ada yang membiarkan perusakan atau bahkan terlibat penjarahan, berarti ia telah berkhianat terhadap amanah Allah,” jelasnya. Hadits Nabi ﷺ juga menguatkan prinsip tersebut. Dalam riwayat Ahmad dan al-Baihaqi, disebutkan bahwa siapa saja yang dipercaya menjaga harta masyarakat maka ia adalah saksi atas amanah tersebut. Bahkan, Nabi menggambarkan umat Islam ibarat satu tubuh—jika salah satu bagian sakit, seluruh tubuh ikut merasakan penderitaan. “Artinya, perusakan dan penjarahan bukan hanya merugikan korban secara langsung, tetapi juga melukai masyarakat luas. Karena itu, menjaga keamanan adalah tanggung jawab kolektif (al-mas’ūliyyah al-jamā‘iyyah) seluruh warga, bukan hanya aparat,” papar KH. Mustain. Para mufassir dan fuqahā juga menekankan hal yang sama. Al-Ṭabarī dalam Kitab Jāmi‘ al-Bayān menyebut amanah mencakup harta dan keselamatan warga. Ibn Kathīr dalam Kitab Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm menambahkan menjaga keamanan kampung hukumnya wajib. Al-Qurṭubī dalam Kitab al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān bahkan menegaskan bahwa pemimpin yang lalai dalam menjaga keamanan telah mengkhianati perintah Allah. “Imam al-Ghazali dalam Iḥyā’ menilai menjaga harta masyarakat adalah amal wajib (farḍ kifāyah). Al-Syathibi menegaskan dalam al-Muwāfaqāt bahwa perlindungan jiwa, harta, dan kehormatan termasuk tujuan utama syariat. Ibnu Hajar al-Haitami pun menyebut kelalaian menjaga keamanan sebagai dosa besar,” tegasnya. Seruan Menahan Diri dan Menjaga Perdamaian Menutup pernyataannya, KH. Mustain mengajak seluruh elemen masyarakat, terutama para penggerak aksi, untuk menahan diri dan tidak terprovokasi. Aspirasi, menurutnya, tetap boleh disampaikan, tetapi harus ditempuh melalui cara damai, dialogis, dan bermartabat. “Jangan sampai tujuan mulia untuk menyuarakan aspirasi justru rusak oleh tindakan segelintir oknum yang merusak fasilitas atau menjarah. Itu bukan hanya melanggar hukum negara, tetapi juga bertentangan dengan hukum Allah,” tegasnya. Mustain lalu menyerukan pesan damai: “Mari kita bersama-sama menjaga keamanan, menghormati hak orang lain, dan menyalurkan aspirasi secara beradab. Waṣ-ṣulḥu khair – perdamaian itu lebih baik. Semoga Allah senantiasa membimbing kita dalam menegakkan amanah dan menjaga harta serta jiwa masyarakat.”